jump to navigation

Memulihkan Hubungan Pasien & Dokter yang Retak Januari 1, 2010

Posted by teknosehat in Bioetik & Biohukum, HUKUM KESEHATAN, Pelayanan Kesehatan, Tenaga Kesehatan.
trackback

Memulihkan Hubungan Pasien & Dokter yang Retak
Billy N. <billy@hukum-kesehatan.web.id>

Dalam kolom ‘Surat Pembaca’ di beberapa harian, mungkin kita membaca surat-surat yang berisi pertentangan antara pasien dengan rumah sakit (RS) yang pernah merawatnya mengenai kepemilikan isi rekam medik. Pasien menganggap isi rekam medik adalah miliknya, sementara RS menganggap pasien hanya berhak atas isi resume/ringkasannya saja. Dalam kasus Prita Mulyasari, masalah rekam medik pun menjadi pertentangan ketika pihak RS menolak memberikan rekam medik dengan lengkap.
Kedua pendapat ini memiliki dasar hukum masing-masing. Pasal 47 UU no.29/2004 dengan jelas menyebutkan bahwa isi medik milik pasien, sementara pasal 12 Permenkes no.269/2008 mereduksi hak pasien tersebut menjadi hanya isi ringkasannya saja. Menurut azas preferensi hukum, peraturan yang lebih tinggi mengalahkan yang lebih rendah (lex superiori derogat legi inferiori).
Masalah ini sebenarnya bukan semata masalah hukum, tetapi adalah ‘puncak dari gunung es’ retaknya hubungan antara masyarakat sebagai pasien dengan dokter/RS. Ini mengakibatkan adanya perbedaan cara pandang mengenai hubungan pasien dengan dokter/RS. Di satu sisi, masih banyak dokter beranggapan bahwa hubungannya dengan pasien adalah seperti hubungan orangtua-anak (paternalistik), dokter lebih mendominasi sehingga pasien dianggap tidak tahu apa-apa & cukup menurut saja, sedangkan dokter dianggap ‘manusia setengah dewa’ yang tahu segalanya. Dalam pola ini, dokter menganggap wajar jika pasien hanya berhak atas ringkasan rekam mediknya saja.
Di sisi lain, sudah banyak pasien yang menganggap hubungannya dengan dokter adalah seperti klien-teknisi atau konsumen-produsen, di mana konsumen pelayanan kesehatan adalah ‘raja’. Dokter cukup ‘memperbaiki’ tubuh & melayani kehendak pasien, karena telah dibayar mahal termasuk untuk mengisi rekam medik. Sehingga wajar jika pasien berhak meminta semua isi rekam mediknya dalam pola ini.
Kedua jenis hubungan tersebut sebenarnya bukan tipe hubungan yang tepat untuk pasien-dokter, karena tidak menjadi hubungan yang setara di antara keduanya. Pada hubungan paternalistik, dokter terkesan seenaknya dalam melayani pasien, pasien sering dianggap masalah yang harus cepat diselesaikan atau semata makhluk biologis yang harus diobati. Pasien hanya dapat pasrah apalagi dalam pola ini banyak yang biaya pengobatannya ditanggung oleh perusahaan atau negara.
Sedangkan pada hubungan konsumen-produsen, pasien menjadi konsumen yang senang ‘berbelanja’ dokter, mencari mana yang paling memuaskannya, jika diperlukan yang paling ahli sampai ke luar negeri. Jika tidak sembuh atau dianggap kurang memuaskan pelayanannya, dokter dapat dituduh melakukan malapraktik. Dalam pola ini, dokter pun menjadi penyedia jasa yang selektif, hanya mau melayani pasien yang mampu membayar sesuai tarif yang ditentukannya & berlomba menyediakan berbagai fasilitas yang diingini pasien.
Dalam buku ‘Matters of Life and Death‘, pakar etika kedokteran John Wyatt menyatakan bahwa pola hubungan yang baik untuk pasien & dokter sebenarnya adalah suatu hubungan ‘ahli-ahli’ (the expert-expert relationship), di mana terjadi suatu hubungan sejajar yang saling menghormati & percaya. Dasar pemikiran pola ini adalah dokter sebagai ahli dalam bidang kesehatan sementara pasien tentu ‘ahli’ (yang paling mengetahui) keluhan, riwayat kesehatan, sampai gaya hidup pribadinya. Dalam pola ini, pasien tidak dianggap masalah atau kumpulan trilyunan sel sakit yang dapat diobati penyakitnya sesuai prosedur standar atau perkembangan teknologi kedokteran terbaru. Namun pasien adalah manusia seutuhnya yang unik sehingga diperlukan pendekatan pribadi untuk kondisi kesehatan yang mungkin sama dengan banyak pasien lain.
Hubungan pasien & dokter dalam pola ini terjadi karena adanya aspek filantropis (mengasihi orang lain) dari dokter, bukan didasarkan pada aspek finansial belaka seperti pada pola konsumen-produsen. Sedangkan pasien dalam pola ini tidak hanya mencari pertolongan dokter ketika dalam kondisi sakit saja seperti pada pola paternalistik, tetapi juga dalam kondisi sehat untuk mencegah penyakit, menjaga & meningkatkan derajat kesehatannya.
Dengan pola ini, kepemilikan isi rekam medik bukanlah suatu hal yang perlu dipertentangkan & menjadi rahasia bagi pasien yang kondisi tubuhnya tercatat di dalamnya. Karena dalam hubungan ini, isi rekam medik menjadi salah satu pengikat hubungan pasien-dokter, yaitu sejarah hubungan keduanya dalam usaha untuk menjaga & mencapai kesehatan pasien.
Pola hubungan yang baik ini tentu bukan hanya menjadi kepentingan pasien & dokter semata, tetapi menjadi kepentingan pemerintah juga dalam usaha peningkatan kesehatan masyarakat. Pemerintah harus ikut mendukungnya dengan membuat peraturan perundangan yang tentunya tidak saling bertentangan, kebijakan yang mengutamakan pencegahan penyakit & peningkatan kesehatan, tidak menjadikan bidang kesehatan sebagai usaha populis semata untuk mendapat dukungan di pemilu, & memasukkan pola hubungan yang baik ini dalam inti kurikulum pendidikan dokter di Indonesia. Dengan hubungan pasien & dokter yang lebih baik, maka masyarakat dapat tetap sehat dalam membangun negeri ini.
(c)Hukum-Kesehatan.web.id

Komentar»

No comments yet — be the first.

Tinggalkan komentar